Masokisme ini sering dipadukan dengan kecenderungan lain lalu menjadi BDSM atau Bondage, Discipline, Sadism and Masochism. Alat atau aksesori yang biasanya digunakan antara lain seperti borgol, tali, lilin panas dan mungkin cambuk untuk memukul bagian tubuh tertentu.
Bagi yang melakukannya sekedar untuk mewujudkan fantasi seksual, biasanya terjadi kesepakatan dari kedua pihak bahwa hal itu sebatas role play alias pura-pura sehingga tidak perlu benar-benar saling menyakiti. Tapi ada pula yang benar-benar menikmati aksi sungguhan.
Saat beberapa orang menganggap kecenderungan ini sebagai perilaku yang menyimpang, tetapi seorang psikolog justru menilainya sebagai perilaku yang bisa menyehatkan secara kejiwaan. Menurut sang psikolog, penganut BDSM punya kepribadian yang lebih sehat dibandingkan rata-rata orang pada umumnya.
Dr Andreas Wismeijer, yang merupakan psikolog dari Tilburg University mengatakan bahwa penganut BDSM cenderung lebih ekstrovert, lebih terbuka sehingga jarang mengalami stres. Kecenderungan lainnya yaitu jarang mengeluh atau dalam psikologi sering disebut sebagai gangguan neurotik.
Selain itu, pilihan peran dalam fantasi BDSM, apakah sebagai pihak yang dominan atau submisif, juga mempengaruhi kepribadian. Dominan berarti menjadi pihak yang menyakiti, sedangkan submisif menjadi pihak yang disakiti. Laki-laki dan perempuan bisa saling bertukar posisi, dan keduanya sama-sama bisa saling menikmati.
Posisi dominan membuat kepribadian penggemar BDSM lebih seimbang, posisi submisif paling tidak seimbang dan 'switches' atau sering ganti-ganti posisi berada di tengah-tengah. Namun dibanding rata-rata orang pada umumnya, apapun posisinya penganut BDSM diklaim punya kepribadian lebih sehat.
Biasanya, fantasi seksual semacam ini tidak menjadi masalah selama masing-masing tahu batas untuk tidak benar-benar menyakiti. Kesepakatan kedua pihak dibutuhkan sebab kalau ada unsur paksaan maka penyiksaan di atas ranjang bisa berubah menjadi tindak kriminal. Seperti itulah yang kami kutip dari DetikHealth.